Skip links
Hasil panen sayur-sayur yang ditanam Dina Matena, yang biasa disapa Mama Dina dijual pada perusahaan katering mitra BKP-BTR untuk menjadi bagian dari menu harian ratusan karyawan. [FOTO: Dino Musida/BKP-BTR]

Sayur-mayur dari Pemasok Lokal Tambang Tembaga Wetar

Menanam sayur sesungguhnya kebiasaan baru bagi masyarakat Wetar. Keuletan para mama membuat program ini berhasil.

Helena Mawatis ternyata tidak ada di kebun. Ini tidak seperti biasanya. Sebab yang banyak orang tahu, dia selalu sudah berkebun sejak pagi-pagi sekali. “Bikin nasi dolo,” katanya ketika menyambut Suasa yang menghampiri rumahnya.  “Mari,” katanya tak lama kemudian.

Mama Ena, begitu ia biasa disapa, mengajak berjalan kaki ke kebunnya yang memerlukan waktu tempuh sekitar sepuluh menit. Perempuan berusia 76 tahun asli Desa Lurang ini menenteng ember berisi bekal dan dan benda lain terbungkus kain. “Tadi malam sampai pagi hujan, to, jadi semua su boleh disiram,” katanya. Dengan berkata itu, ia bermaksud bilang bahwa ia tidak ke kebun lebih pagi untuk menyirami tanamannya karena alam sudah melakukan itu untuknya.

Bercocok tanam sayuran di Desa Lurang, Pulau Wetar, memang harus sering menyiram. Sebagai salah satu titik paling panas di Indonesia, pulau yang terletak di tengah Laut Banda ini memang sangat terik dengan cahaya matahari terang benderang hingga lewat pukul enam petang. Meskipun semalam sudah turun hujan, Mama Ena menyiram lagi kebunnya setelah matahari agak tinggi. Mama Ena yang masih gesit menimba ini bercerita bahwa kegiatan berkebun yang paling banyak adalah menyiram. Datang pagi menyiram, sebelum istirahat siang menyiram, sore menyiram lagi. Lalu, menjelang gelap, Ateng, pembantu sekaligus penjaga kebun dan babinya, menyiram untuk menutup hari. Mama Ena punya sumber air dari sumur di sudut kebunnya. Lokasi itu hanya sekitar lima puluh meter dari garis pantai Laut Banda dan muara Sungai Lurang. Dengan kedalaman dua meter saja, sumur itu sudah menyediakan air tawar yang tidak pernah kering.

Di sela-sela menyiram, Mama Ena merawat dengan saksama tanaman sayur-mayur yang terbagi dalam beberapa petak-petak kecil. Ia menggunakan pupuk dari kotoran ayam yang didapatkan dari para peternak ayam di Lurang. Untuk bibit, Mama Ena mendapat dari Kupang. “Anak-anak dan anak mantu yang belikan,” ujarnya.

Mama Ena memiliki pembawaan senang bercerita dan tidak mau diam. “Kerja begini membuat sehat,” katanya. Dia mengaku amat bersyukur karena masih sehat dan mampu bekerja serta mampu memiliki penghasilan. Dia membandingkan dengan warga lansia yang seumur dia atau lebih muda tetapi sudah sakit-sakitan.

Saat ini, Mama Ena sedang menanam sawi, wortel, tomat, kacang panjang, dan terong. Selain itu dia memelihara empat ekor babi di kandang, dua di antaranya sedang bunting. Semuanya adalah sumber penghidupan Mama Ena yang saat ini hidup serumah bersama Lodia, saudara perempuannya. Bila dijual, babi itu bisa memberi empat juta rupiah kepada Mama Ena. Pendapatannya dari sayuran tidak menentu, tergantung panen. Pembeli utama hasil kebunnya adalah Batutua Kharisma Permai dan Batutua Tembaga Raya (BKP-BTR), selebihnya dibeli sesama warga Lurang.

Mama Ena adalah salah seorang penanam sayuran yang ikut dalam program pemberdayaan yang diselenggarakan BKP-BTR. Hasil kebun peserta program yang berasal dari masyarakat lingkar tambang di Desa Lurang, Desa Uhak, serta Kampung Baru diserap perusahaan. Berbagai jenis sayuran itu adalah komponen penting menu harian ratusan karyawan. Selain sayuran, BKP-BTR juga belanja ikan, daging ayam, telur ayam, tahu-tempe serta kerupuk dari desa-desa itu.

Community Development—External Affairs BKP-BTR membina Mama Ena dan para pemasok lainnya di bidang mereka masing-masing. Mereka kemudian menyerahkan hasilnya pada perusahaan katering mitra BKP-BTR, yaitu Prasmanindo Boga Utama (PBU), sesuai jadwal yang telah ditentukan. Pembayaran pembelian akan dibayarkan PBU melalui Yayasan Ina Rifa di Lurang dan Yayasan Ama Kefe di Uhak dan Kampung Baru. Mama Ena dan lainnya akan menerima pembayaran dari yayasan tersebut.

Mama Ena selalu menyerahkan hasil kebunnya pada hari penimbangan di Pasar Lurang walau tidak sebanyak rekan sesama penanam sayur lain. Dia mengaku karena usia menua maka sayuran hasilnya tidak sebanyak dulu. Namun, dia tetap berusaha memenuhi jenis yang diminta PBU, sesuai rencana menu yang akan disajikan. Di sela itu, bila ada yang bisa dipanen maka Mama Ena menjual sayur kepada orang-orang di Lurang. Dia mengaku penghasilannya digunakan untuk makan dan keperluan sehari-hari, sisanya ditabung.

Mama Ena sadar usia akan terus bertambah dan pada satu masa pasti tidak akan sanggup lagi bekerja di kebun. Apa rencananya setelah tidak berkebun? “Mama ingin punya warung di rumah biar bekerja di rumah dan tetap ada penghasilan to,” katanya.

Helena Mawatis, yang biasa disapa Mama Ena, salah seorang pemasok sayur-mayur untuk BKP-BTR. [FOTO: Dino Musida/BKP-BTR]
Mama Dina juga penanam sayur, serupa dengan Mama Ena. Namun pekerjaannya lebih mudah, kebunnya ada di samping rumahnya sehingga bisa setiap waktu menyiram. Di sela-sela menunggu masakan untuk keluarganya matang, perempuan berusia 45 tahun itu masih sempat menyiram satu atau dua petak tanaman salada, wortel, timun, kangkung, dan sawi.

Jenis tanaman di kebunnya serupa dengan kebun Mama Ena, karena memang itulah yang diminta PBU. Mama Dina pun mendapatkan bibit dari Kupang yang dibeli menggunakan kapal reguler. Begitu juga pupuk berupa kotoran ayam didapat dari para peternak ayam di Lurang. Mama Dina, pemilik nama lengkap Dina Matena ini, yang berasal dari Pulau Lurang, di barat daya Pulau Wetar, sudah merasakan manfaat penghasilan sebagai pemasok sayur ke BKP-BTR. “Untuk makan dan biaya dua anak yang masih sekolah,” kata ibu lima anak ini.


Mama Yos atau Yospina Mapekar juga punya kebun di samping rumah. Demi menjaga kesegaran tanamannya, dia sudah menyiapkan wadah-wadah air yang selalu berisi. Memang dialah yang lebih banyak merawat terutama menyiram maupun memupuki kebun setiap waktu, tetapi dia merasa beruntung anak dan cucunya bisa turut membantu.

Perempuan berusia 70 tahun ini masih tampak bugar. Dia mengaku bisa tetap sehat karena memiliki prinsip untuk selalu aktif di kebun maupun di rumah serta menjaga makan. Dia mengaku sebagian sayurnya untuk tambahan makan keluarganya atau dijual ke warga Lurang.

Penghasilan dari kebun sudah jadi apa? “Buat perabotan dapur,” kata Mama Yos, yang memang gemar di dapur.

Yospina Mapekar, yang biasa disapa sebagai Mama Yos, salah seorang pemasok sayur-mayur untuk BKP-BTR. [FOTO: Dino Musida/BKP-BTR]
Masih banyak mama lain yang turut menjadi penanam sayur dan bekerja sama dalam program PPM oleh BKP-BTR. Begitu pula dengan mama-mama di Desa Uhak yang harus menggunakan jolor, perahu kecil bermesin tunggal, selama satu jam untuk sampai ke lokasi BKP-BTR.


Menanam sayur merupakan hal baru bagi masyarakat Lurang dan Uhak karena mereka sejatinya adalah masyarakat peladang. Penanaman sayur baru terjadi mulai 2009 ketika BKP-BTR mulai menyelenggarakan program pemberdayaan masyarakat sekitar area operasi. Semua bermula dari tim Community Development yang membuat kebun percontohan dan melatih sejumlah warga Lurang dan Uhak.

Mesakh Nanggula, salah satu pelatih saat itu, mengungkap bahwa tantangan utama waktu itu adalah membuat lahan yang cenderung berpasir menjadi bisa ditanami dan menghasilkan sayuran. “Pertama sekali kita membuat bedengan untuk menahan air dan pemberian pupuk,” katanya. Pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang dan bokasi atau kompos, bukan pupuk kimia.

Pelatihan yang diberikan antara lain bagaimana mengatur jarak tanam serta menjaga masa tanam yang hanya dalam hitungan hari. Juga bagaimana mengatasi hama serta waktu-waktu yang tepat untuk menanam.

“Kita perlihatkan dulu bagaimana yang terjadi di kebun percontohan, lalu membuat hal yang sama di kebun-kebun warga,” kata Mesakh.

Proses belajar berlangsung dari satu kelompok ke kelompok lainnya, dan pendampingan langsung di lokasi dilakukan secara intens. Pada masa awal, ada 56 orang dari Uhak dan 100 orang lebih dari Lurang yang terlibat. Kini, menurut Mesakh yang masih melakukan pembinaan para penanam sayur, jumlah mereka bertambah seiring warga pendatang yang terus bertambah.

Pada awalnya, semuanya mendapat dukungan dari BKP-BTR, misal untuk pengadaan bibit. Namun, sejak 2012, semua pemasok menjadi mandiri. Mereka membeli bibit dan keperluan kebunnya sendiri. Tugas Mesak bersama tim Community Development hanya memantau dan memastikan agar proses pengadaan sayuran kepada BKP-BTR tetap berlangsung baik.

By using our website, you hereby consent to our Disclaimer and agree to all of its terms.